Tantangan ke depan yang akan kita hadapi tidak semakin ringan. Perkembangan sains dan teknologi, khususnya kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat telah melampaui batas negara. Berita mancanegara pada waktu yang sama dapat disaksikan secara langsung di negara kita dan belahan negara lain.
Promosi besar-besaran yang ditayangkan melalui TELEVISI berupa berita dunia, ilmu pengetahuan, dunia gemerlap, gambar pornoaksi dan pornografi, perbuatan kemusyrikan, dll dapat ditonton secara langsung sampai ke pelosok desa. Tanpa disadari tayangan-tayangan tersebut telah merubah pola kehidupan masyarakat yang agamis menjadi kehidupan yang materialistis dan konsumeristis (kemewahan). Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan segala hasil teknologi yang paling canggih, paling mahal dan paling baru.
Bahkan untuk mendapatkan itu semua, mereka telah melakukan tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, menipu, bahkan sampai pada tindakan perampokan dan pembunuhan. Padahal tindakan semacam ini adalah merupakan awal kehancuran suatu bangsa.
Keserakahan manusia kepada harta benda, tahta dan wanita telah merata tidak terkecuali meliputi semua lapisan masyarakat. Pejabat pemerintah daerah dan pusat mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah tidak lagi memikirkan rakyatnya. Mereka berlomba-lomba memperkaya diri, kelompok, dan golongannya dengan cara korupsi, kolusi dan manipulasi uang rakyat. Indonesia adalah juara ke-tiga di bidang korupsi.
Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam mulai dari menebang hutan, gunung, dan hasil tambang yang dilakukan oleh para pengusaha telah merusak ekosistem kehidupan baik yang berkenaan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, mineral, energi, maupun iklim.
Mencari kebahagiaan, mata pencaharian, dan berkarir merupakan upaya manusia mempertahankan eksistensi kehidupannya sebagai : pejabat pemerintah, pengusaha, industriawan, pedagang, dan berbagai lapangan pekerjaan pribadi maupun kelompok kecil telah menghantarkan manusia pada berbagai macam persoalan kehidupan yang rumit dan sulit dipecahkan. Persaingan yang tidak sehat, permusuhan, kedengkian, tidak ada suasana yang nyaman di dalam lingkungan kerja, kejenuhan, produktivitas dan mutu kerja rendah menjadikan manusia modern masa kini stres bahkan tidak jarang diantara mereka mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dan menghilangkan nyawa orang lain.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di tanah air memberikan gambaran hal tersebut dan demikian pula kecenderungan ini terjadi juga di negara-negara indsutri maju.
Gemerlapannya dunia, kesenangan hidup yang selalu bersama dengan sebagian orang-orang kaya ternyata tidak mampu memberikan ketenangan di dalam hidupnya. Perasaan gelisah, takut, dan stres berat selalu menyertainya. Demikian juga di kalangan orang-orang miskin, ketika menyaksikan gemerlapannya dunia dan himpitan kehidupan cenderung mengambil jalan pintas. Permasalahan-permasalahan tersebut diatas penyebabnya adalah karena ketidakmampuan manusia memahami hakekat kehidupan.
Jika boleh saya mengutip pendapat seorang Pakar Psikologi Positif dari universitas Cambridge, DR. Nick Baylis yang menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi di dunia menemukan “bahwa menjadi kaya tidaklah membawa kebahagiaan. Sementara banyak hal telah berkembang makin baik seperti pelayanan kesehatan, perumahan, pendidikan dll. Ada satu hal yang belum membaik yaitu kebahagiaan”, ujarnya.
Profesor Martin Seligman dari Amerika dalam sebuah studinya memberikan suatu saran sederhana : dekatlah dengan Tuhan. “Yang kami temukan secara empiris adalah orang-orang yang religius lebih optimis dan tidak terlalu tertekan dibanding mereka yang tidak religius”, katanya.
Gagasan untuk menyisihkan anggaran guna mendorong pertumbuhan spiritual kedengarannya tidak ilmiah. Namun sekarang ini berbagai lembaga pemerintahan dunia, dari Washington sampai Tokyo, mulai menganggap upaya untuk mendorong kebahagiaan nasional adalah hal yang serius. Diantara mereka ada yang mengadakan survey perbandingan antar negara untuk mengetahui bangsa mana yang lebih bahagia.
Kebahagiaan itu adalah ciptaan Tuhan dan terdapat pada Tuhan itu sendiri. Sementara kebahagiaan duniawi bersifat semu, imitasi, dan temporer.
Kualitas kebahagiaan yang kita cari adalah kebahagiaan yang kekal berdimensi dunia dan akherat. Sehingga langkah awal yang harus kita lakukan adalah dengan mendekati Tuhan, memohon pertolongan-Nya, kemudian Tuhanlah yang akan mengatur kebutuhan hidup manusia.